OBAT BERMEREK

Postingan ini sebenarnya sebuah komentar yang saya berikan sebagai tanggapan terhadap tulisan tentang Penggunaan Istilah Obat Generik dan Obat Paten yang bisa Anda lihat di sini. Akan tetapi, setelah berulang kali gagal (mungkin terlalu panjang kali, ya?) maka saya memutuskan untuk memostingkannya. Sebelumnya, tulisan ini sebagian sudah saya kirimkan melalui e-mail kepada Priyadi. Hal ini semata-mata tanggung jawab sebagai praktisi yang bersentuhan dengan bidang yang dia tulis. Tentu, tidak ada maksud lain selain untuk mencari titik temu. Membiarkannya pada floatting area bisa menjadi diskursus bukan?

Menurut saya, karena mengklarifikasi istilah Paten dengan menggunakan perspektif hukum (UU tentang Paten) seharusnya dia menyertakan juga UU No 15 tahun 2001 tentang Merek. Undang-undang tersebut berada satu paket dalam Kompilasi UU RI di bidang Hak Kekayaan Intelektual. Untuk informasi lebih lengkap anda bisa mengunjungi Ditjen HKI di sini. Akibatnya, kita bisa terkecoh dengan kata “paten” dan kata “merek” dan melahirkan “usulan”penggantian istilah “obat paten” dengan “obat bermerek” yang menjerumuskannya ke dalam lubang kesalahan baru.

Seperti halnya Paten, maka Merek pun mempunyai “jangka waktu perlindungan hukum”. Bahkan, waktunya bisa lebih pendek dari masa perlindungan Paten. Berdasarkan UU No 15 merek terdaftar mendapat perlindungan hukum untuk jangka waktu 10 tahun dan berlaku surut sejak tanggal penerimaan permohonan merek bersangkutan. Nah, kalau menyebut suatu obat yang off patent sebagai obat bermerek, tentu tidak tertutup kemungkinan merek obat tersebut juga off certificate, bukan? Tentu akan menimbulkan pertanyaan apakah masih bisa disebut sebagai ”obat bermerek”?

Pemahaman saya tentang obat bermerek beranjak pada obat ethical (resep) dimana obat bisa disebut sebagai branded original drug, branded generic drug, dan untuk kondisi Indonesia ada istilah obat generik bermerek atau berlogo (OGB). Oleh sebab itu, saya menyimpulkan semua obat bermerek.

Untuk mengetahui apakah suatu invensi (penemuan) sudah berpaten atau tidak dan suatu merek sudah terdaftar atau tidak di Indonesia, dapat ditelusuri melalui Ditjen HKI. Di bawah Departemen Hukum dan perundang-undangan ada 2 buah direktorat yang berbeda yaitu direktorat paten dan direktorat merek. Sementara di luar negeri dapat melalui US Patent and Trademark Office, Japan Patent Office, dan European Patent Office. Karena pemerintah Indonesia termasuk negara yang menandatangani Final Act Embodying the Result of the Uruguay Round of Multilateral Trade Negotiations, yang mencakup Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS), sudah tentu Indonesia juga mengakui paten dari negara yang ikut dalam perjanjian tersebut.

Pada kasus ini dicontohkan Norvasc (di akhir menggunakan huruf c), ini merupakan merek obat yang mengandung AMLODIPINE BESYLATE, yang beredar di United State dan beberapa negara belahan amerika yang lain. Merek ini sudah terdaftar pada US Paten dengan Serial Number 73659611. Selengkapnya lihat di sini. Oleh Pfizer, perusahaan yang memproduksinya, di Indonesia di beri merek Norvask (di akhir menggunakan huruf k). Dalam US Patent dapat diketahui bahwa yang menjadi invensi (penemuan) yang dipatenkan salah satunya adalah “Pharmaceutically Acceptable Salts”. Selengkapnya dapat Anda lihat di sini. Spesifikasi paten yang tercantum dalam abstrak adalah:“Improved pharmaceutical salts of amlodipine, particularly the besylate salt, and pharmaceutical compositions thereof. These salts find utility as anti-ischaemic and anti-hypertensive agents”. Selengkapnya dapat Anda lihat di sini. Jadi, yang menjadi paten-nya adalah AMLODIPINE BESYLATE, salah jenis garam amlodipine yang berkhasiat untuk antihipertensi dan antiiskemik.

Nah, AMLODIPINE BESYLATE ini diketahui sebagai nama zat yang terkandung dalam Norvask. Kalau zat yang terkandung tersebut dijadikan merek (merek dalam pengertian umum, bukan merek dalam perspektif UU NO 15) maka dia dinamakan Obat Generik. Tentu, obat seperti ini dapat diproduksi setelah masa perlindungan atas paten produk-nya sudah kadaluarsa. Biasanya di Indonesia obat ini diproduksi oleh perusahaan farmasi milik pemerintah.

Selain itu, apabila obat generik tersebut diberi LOGO (merek Generik) maka dinamakan Obat Generik Berlogo/Bermerek. Obat seperti ini dapat diproduksi oleh perusahaan farmasi swasta. Dengan kata lain, semua obat generik dapat merupakan obat yang bermerek dan tidak semua obat bermerek merupakan obat generik.

Pemerintah Indonesia mengakui paten dari AMLODIPINE BESYLATE ini, karena terikat dalam perjanjian TRIP yang telah saya disebutkan di atas (paten produk dan merek ini harus terlebih dulu diregistrasi di Indonesia sesuai dengan hak prioritas). Dengan demikian, AMLODIPINE BESYLATE baru bisa dipergunakan oleh perusahaan farmasi lain apabila masa perlindungannya tersebut sudah habis. Di Indonesia saat ini ada satu merek obat yang juga mengandung AMLODIPINE BESYLATE yaitu TENSIVASK (diproduksi Dexa Medika). Hal ini dibenarkan UU, apabila memang pemilik paten-nya, dalam hal ini Pfizer telah mengadakan suatu perjanjian tertulis dengan pihak Dexa Medika. Tidak mengherankan pada setiap brosur promosi TENSIVASK terdapat tulisan “BAHAN BERKHASIAT DARI PFIZER”. Apabila ada obat lain yang mengandung zat tersebut tapi sebelumnya tidak ada perjanjian tertulis dengan pemegang paten, maka ini dapat menimbulkan konsekuensi hukum.

Saat ini ada obat yang mengandung AMLODIPINE MALEATE (salah satu turunan amlodipine) yang beredar di Indonesia dengan nama dagang AMDIXAL (diproduksi oleh SANDOZ). Apabila obat ini mempunyai paten dan mereknya sudah terdaftar maka sudah pasti ini dinamakan obat berpaten dan bermerek. Akan tetapi, masyarakat sering menyederhanakannya menjadi “obat berpaten” atau “obat paten”. Kalau tidak maka bisa dikatagorikan sebagai “obat me too”, suatu istilah “halus” yang berkembang di kalangan marketing farmasi untuk “obat tiruan”.

Istilah yang berkembang seperti “obat berpaten”, “obat generik” atau juga “obat me too” kental beraroma bisnis. Media sangat berperan dalam menimbulkan simpisitas istilah ini. Obat paten (saya setuju pengunaan istilah berpaten) merupakan obat yang paten produk-nya masih berlaku sesuai dengan ketentuan UU tentang Paten, sementara obat generik menggunakan “merek” berupa zat yang terkandung di dalamnya. Akibatnya, kata “bermerek” tentu tidak tepat untuk menggantikan kata “berpaten”. Tentu juga tidak lucu kalau saat ini kita harus menyebut Norvask dengan “obat bermerek yang memiliki paten”, dan setelah bulan September 2007 nanti kita harus menyebutnya dengan “Obat bermerek yang pernah memiliki paten”, bukan?

33 comments so far

  1. Bakhrian syah on

    Mas…. tulisannya berat betul… berapa kilo tuh??? ckckckck…ga kuat kasih comment-nya…

  2. anakfarmasiblomlulus on

    Waahhh,… suka deh postingan ini…. secara di media2 saat ini sedang marah bahas masalah obat2an …..

  3. CempLuk on

    waduh ini cerita nya mas mashuri mau kelarifikasi ttg postingan mas priyadi gitu ya…moga aja dapet titik temu mas 🙂 amin

  4. Miftah Muhaemen on

    ulun kada ngarti Oom, kena mun ulun dah gonol blajar wan pian Oom lah. Mun kena ulun kada tahu bolehkah ulun baatakun wan pian?

  5. Nieke,, on

    kalo boleh saya mau berkomentar masalah ini jika dilihat dari istilah ekonomi [saya cuma bisa berkomentar sesuai dgn bidang saya tekuni, secara saya mahasiswi ekomoni. hehe].

    dalam istilah dagang sendiri sebenernya kata “patent” [hak khusus yg dimiliki para investor atas hasil karyanya yg orisinil] dan kata “merek” [sesuatu pembeda sebagai identitas wujud dari barang/jasa yg ditawarkan] memiliki arti yg berbeda. jadi memang kata “berpatent” jelas tidak dapat diganti dengan kata “bermerek” atau pun sbaliknya 😉

    hidup om Mashuri..! *hehee, apaan sih Ke’? xD*

    [kalo ada yg salah, mohon dimaafkan. saya juga mahasiswi yg sedang belajar kok. jd kalo ada kesalahan dari analisa atau definisi yg saya cantumin, tlg dimaafkann -.-‘]

  6. mel@ on

    wah… kalo aku anak kedokteran… girang kali ya baca tulisan ini… berhubung ga… hhhffff… jadi mikiiiirrrr… eh… ga nemu-nemu… hehehe…

  7. hery on

    Kalau obat2an aku nggak ngerti deh, tapi kalau Amlodipine Beysilatenya sudah dipatentkan maka benar bahwa segala sesuatu yang berhubungan dengan Amlodipine beysilate untuk dibisniskan harus seijin pemegang patentnya. Kalau nggak ya berarti illegal. Kecuali kalau Indonesia tidak termasuk dan tidak mengakui patent tersebut maka hal ini jadi legal untuk Indonesia apabila memakai amlodipine tersebut. Dan kabarnya untuk biaya untuk mempatentkan disuatu negara sangat mahal loh, dan masa berlaku hanya beberapa tahun kalau tidak salah, kalau tidak diperpanjang maka yang lain bisa mempatentkannya

  8. cakmoki on

    Tulisan tentang “generik” dan “paten” masih sangat kurang, terutama dari kalangan praktisi. Makanya tidak heran jika ada pengertian yang bias. Hal ini diperparah oleh anggapan bahwa paten identik dengan manjur atau hebat. Di kalangan kita (termasuk paramedis) juga sering terjebak dengan kedua istilah tersebut.
    Alangkah bagusnya jika tulisan pak Mashuri ini dimuat di Blog Kompas agar bisa diketahui orang banyak.

  9. - Nilla - on

    Uhmmm… kalo dipandang dr sisi IT gmn ya? Hehehe… ;P Soalnya aku jg ga ngerti kalo masalah obat2an…

    Tp postingannya bagus, kok!
    Aku yg tdnya ga ngerti jd dapet ilmu! 😉

  10. Priyadi on

    hmm sepertinya anda salah deh. walaupun ini memang sudah menjadi salah kaprah.

    saya setuju sama nieke. paten dan merk itu sama2 model implementasi dari hak kekayaan intelektual. tapi keduanya sama sekali berbeda dan gak bisa dicampuradukkan.

    paten: diberikan untuk proses pembuatan produk tertentu, berlaku selama jangka waktu tertentu (di indonesia 20 tahun)

    merk dagang: diberikan untuk penamaan produk tertentu, berlaku selama pemilik masih aktif menggunakannya.

    merk generik memang memiliki merk dalam arti orang2 menggunakan merk tersebut untuk menyebut benda yang bersangkutan. dinamakan merk generik karena merk tersebut TIDAK DIMILIKI oleh yang menjual barang tersebut, tetapi dimiliki oleh semua orang, dan BUKAN karena barang tersebut tidak punya nama. produsen lain bisa saja menjual barang yang sama dengan nama yang sama. ini sebabnya merk generik tidak bisa didaftarkan menjadi merk dagang hak milik. silakan coba daftarkan merk ‘beras’ atau ‘mobil’ untuk produk beras dan mobil, pasti langsung ditolak mentah2 🙂

    lengkapnya bisa dibaca di http://en.wikipedia.org/wiki/Generic_brand

    sedangkan paten sama sekali gak ada hubungannya dengan merk dagang, selain daripada keduanya adalah sama2 jenis hak kekayaan intelektual. sebuah proses yang dipatenkan oleh satu pihak tidak boleh dilakukan oleh pihak lain. tetapi merk yang melekat pada suatu produk tidak boleh digunakan oleh produk serupa milik pihak lain.

    untuk obat, paten dan merk adalah cara yang paling populer untuk melindungi hak kekayaan intelektual. tapi ada lagi bentuk haki lainnya seperti hak cipta dan rahasia dagang. semuanya saya tulis di http://priyadi.net/archives/2005/03/06/jenis-jenis-hak-kekayaan-intelektual/

    sebenernya ini bukan spesifik bidang medis saja. misalnya, dulu henry ford bikin mobil. dia mematenkan mesin dan transmisi mobil. akibatnya selama 20 tahun (?) GM tidak bisa memproduksi mesin dan transmisi mobil kecuali kalau ada perjanjian khusus dengan Ford. Ford menjual mobil model T, ini adalah merk dagangnya, sedangkan ‘mobil’ adalah nama generik untuk benda yang dijual Ford dan GM. karena itu orang tidak bisa mendaftarkan merk dagang ‘mobil’. kemudian karena ‘model T’ adalah merk dagang Ford, maka GM tidak bisa memasarkan produknya sebagai ‘model T’, tapi sah2 saja bagi dia untuk menggunakan istilah ‘mobil’.

    jadi untuk kasus obat, saya tetap berkesimpulan kalau istilah yang tepat untuk ‘obat non generik’ sudah pasti bukan ‘obat paten’ karena merk dagang dan paten adalah dua hal yang berbeda. sama2 haki, tapi tetap bukan hal yang sama.

    oh iya, CMIIW, TRIPS tidak menjadikan paten di suatu negara otomatis berlaku di negara lain. pendaftar paten perlu melakukan registrasi ulang di setiap negara kalau dia ingin patennya berlaku. TRIPS hanya menghaurskan negara anggota mengakui paten, dan paten yang berlaku di suatu negara bisa didaftarkan dengan tanggal registrasi yang sama di negara lain.

  11. Priyadi on

    oh iya, pendaftaran untuk paten dan merk dagang berbeda. sebuah produk bisa saja dipatenkan tapi tidak diberi merk dagang. atau sebaliknya, diberi merk dagang tapi tidak dipatenkan.

  12. Priyadi on

    eh, iya, saya tidak menyarankan untuk mengganti istilah ‘obat berpaten’ dengan ‘obat bermerek’ karena keduanya memang berbeda.

    amlodipine (siapapun yang memproduksinya, dan apapun merk dagangnya) adalah obat berpaten selama patennya masih berlaku, dan di negara yang mengakui paten tersebut. setelah patennya kadaluwarsa, tentunya bukan lagi menjadi obat berpaten.

    norvasc® adalah ‘obat bermerek’ selama Pfizer masih aktif menggunakan merk tersebut. obat bermerk di sini dalam artian merk dagang norvasc® dimiliki oleh Pfizer dan pihak lain tidak dapat menggunakan merk dagang tersebut.

  13. Milda on

    sssttt..pak,aku baca posting yg ini tp msh byk ‘gak mudeng’-nya…trus aku ngintip lagi posting pak dok yang “Being a good parent”…nah yg itu aku msh ‘connect’ sm topiknya…worth to read banget ! hehehe…

  14. mashuri on

    “…….Jadi sebenarnya yang dimaksud dengan ‘obat paten’ yang ditulis pada media-media massa akhir-akhir ini sebenarnya lebih tepat jika disebut sebagai ‘obat bermerek’…..”

    Ini adalah kalimat yang saya kutip dari alinea terakhir tulisan Anda. Dari sini berawal ketidaksependapatan dengan Anda, karena semua obat yang dijual di pasaran pasti bermerek. Akan tetapi, tidak semua merek dapat didaftarkan. (UU No 15 tahun 2001 Pasal 4 dan 5 tentang Merek yang Tidak Dapat Didaftar dan yang Ditolak).

    Betul merek “beras” tidak bisa didaftarkan untuk produk “beras”. Hal ini sudah jelas Pak, sebab merek tersebut merupakan keterangan atau berkaitan dengan barang tersebut (pasal 5). Seperti halnya gambar ”kopi” atau tulisan ”kopi” juga tidak bisa dipergunakan untuk merek produk kopi.

    Akan tetapi, untuk produk farmasi berbeda. Apakah Anda tahu ”Amlodipine besylate”? Kalau Anda bukan seorang farmasist atau farmakolog, pasti hanya tahu istilah tersebut dari artikel ilmiah atau kemasan-kemasan obat yang mengandung bahan tersebut. Untuk produk farmasi tidak bisa dikenakan pasal 4 dan 5 ini, dan dengan pertimbangan ini pula lahir istilah ”OBAT GENERIK BERMEREK/OBAT GENERIK BERLOGO”.

    Anda keliru menerjemahkan tentang istilah ”merek milik umum” pada pernyataan Anda berikut: ……merek generik sebagai merek yang telah menjadi ”milik umum”…….. Hal ini bisa dilihat pada pasal 5 poin c tentang merek yang tidak dapat didaftar dan yang ditolak, misalnya ”TANDA TENGKORAK DI ATAS DUA TULANG YANG BERSILANG”. Merek ini tidak bisa dipakai atau akan ditolak, karena secara umum sudah diketahui sebagai tanda bahaya. Jadi, Anda keliru menganggap ”merek generik” sebagai ”merek yang dimiliki semua orang”, dan dengan pertimbangan ini pula lahir istilah ” ”OBAT GENERIK BERMEREK/OBAT GENERIK BERLOGO”.

    Saya tidak mengatakan suatu negara ”otomatis” mengakui suatu paten yang telah terdaftar di negara lain. Akan tetapi, sudah tentu melewati proses administrasi agar paten tersebut dapat berlaku di sini apabila produk/proses paten tersebut ingin dipasarkan di sini (Lihat Buku Panduan HAKI, 2003 tentang Prosedur Permohonan Paten). Akan tetapi, pemohon paten mempunyai hak prioritas untuk memperoleh pengakuan bahwa tanggal penerimaan di negara asal merupakan tanggal prioritas di negara tujuan yang tergabung dalam Paris Convention.

    Di bidang industri farmasi rasionalitas ekonomi menjadi pertimbangan untuk mematenkan produk/proses atau mendaftarkan merek. Invensi yang diberi paten dapat secara ekonomi menguntungkan apabila skala pasar bagi produk yang bersangkutan sesuai dengan investasi, sehingga ada produk berpaten yang mereknya tidak terdaftar atau ada yang mereknya terdaftar tapi tidak berpaten (walau untuk obat ini sangat jarang!).

    Perlu diketahui bahwa untuk produk farmasi biasanya terdiri dari beberapa klaim yang dipatenkan. Jadi kalau Amlodipine besylate (keliru kalau hanya disebut Amlodipine), ini puluhan klaim yang dipatenkan mulai dari proses sintesisnya sampai kepada efek zat ini di dalam tubuh. Masa perlindungan paten ini bisa 20 tahun, tapi untuk produk tertentu dapat memperoleh paten sederhana yang mempunyai masa perlindungan 10 tahun (paten sederhana).

    Jadi, saya tetap berpendapat obat generik adalah obat yang menjadikan kandungan zatnya sebagai merek. Biasanya kandungan zat tersebut telah habis masa perlindungan patennya (kalau memang dipatenkan sebelumnya). Konteks ini dapat dilihat
    di sini.

    Saya setuju obat berpaten merupakan obat dengan mempunyai merek tertentu yang mengandung zat tertentu saat masa perlindungan patennya belum kadaluarsa.

    Tapi saya tidak setuju, kalau obat berpaten (yang masa perlindungan patennya) sudah expired lantas disebut menjadi ”obat bermerek”, seperti yang terdapat pada alinea akhir tulisan Anda.

    Terima kasih semuanya.
    Terima kasih juga kepada teman-teman yang telah memberikan komen-nya.

  15. Priyadi on

    #67:


    Tapi saya tidak setuju, kalau obat berpaten yang masa perlindungan patennya sudah expired lantas disebut menjadi ”obat bermerek”, seperti yang terdapat pada alinea akhir tulisan Anda.

    oh, memang bukan itu maksud saya. saat ini, Norvasc® adalah obat bermerek DAN obat berpaten. tahun depan, Norvasc® bukan obat berpaten, tapi tetap obat bermerk.


    Saya setuju obat berpaten merupakan obat dengan mempunyai merek tertentu yang mengandung zat tertentu saat masa perlindungan patennya belum kadaluarsa.

    ini kembali mencampuradukkan antara ‘paten’ dan ‘merk’. lebih baik sebelum paten expire kita sebut ‘obat berpaten’, dan sesudah expire kita sebut ‘obat tidak berpaten’. ini terlepas dari apakah obat ini diberi merk atau menggunakan nama generik.

    sedangkan dari sudut pandang merk, lebih baik kita sebut yang tidak menggunakan merk sendiri (amlodipine) sebagai ‘obat generik’ dan yang menggunakan merk sendiri (norvasc) sebagai ‘obat bermerk’. dan ini terlepas dari apakah paten obat ini masih berlaku atau tidak.


    Jadi kalau Amlodipine besylate (keliru kalau hanya disebut Amlodipine)

    dari semua database obat yang saya lihat semuanya pakai nama ‘amlodipine’ saja: 1 2, 3 4.


    Betul merek “beras” tidak bisa didaftarkan untuk produk “beras”. Hal ini sudah jelas Pak, sebab merek tersebut merupakan keterangan atau berkaitan dengan barang tersebut (pasal 5). Seperti halnya gambar ”kopi” atau tulisan ”kopi” juga tidak bisa dipergunakan untuk merek produk kopi.

    Akan tetapi, untuk produk farmasi berbeda. Apakah Anda tahu ”Amlodipine besylate”? Kalau Anda bukan seorang farmasist atau farmakolog, pasti hanya tahu istilah tersebut dari artikel ilmiah atau kemasan-kemasan obat yang mengandung bahan tersebut. Untuk produk farmasi tidak bisa dikenakan pasal 4 dan 5 ini, dan dari sini lahir istilah ”OBAT GENERIK BERMEREK/OBAT GENERIK BERLOGO”.

    hmmm, bisa kasih contoh nama generik yang didaftarkan namanya? setelah saya cari di dgip.go.id, tidak ada pendaftaran merk dengan nama ‘amlodipine’ dan juga generik obat2an lainnya (saya sudah coba search nama paracetamol, cotrimoxazole, metronidazole, amoxicillin, semuanya gak didaftarkan)

    ps. balasan mohon juga dicross-comment ke blog saya 🙂

  16. mashuri on

    Baik, saya kutip lagi kalimat yang terdapat pada alinea terakhir tulisan Anda:

    Jadi sebenarnya yang dimaksud dengan ‘obat paten’ yang ditulis pada media-media massa akhir-akhir ini sebenarnya lebih tepat jika disebut sebagai ‘obat bermerek’. Sedangkan penggunaan istilah ‘obat paten’ adalah salah karena patennya sendiri sudah kadaluwarsa dan tidak berlaku lagi.

    Sekali lagi…..kalimat ini yang saya tidak setuju. Dari Harian on line yang Anda kutip pun (Kompas) tidak menyebutkan NAMA OBAT (kecuali nama sebuah produk cairan infus) mempunyai paten atau tidak. Bagaimana mungkin Anda bisa menyimpulkan obat yang termasuk dalam berita itu sudah expire atau tidak, sehingga menyebutnya dengan ”obat bermerek”? Saya minta maaf kalau saya salah menangkap maksud kalimat itu, tapi tolong Anda jelaskan sekali lagi apa yang Anda maksud dengan kalimat yang Anda tuliskan?

    Ok…sedari awal saya sepakat semua obat yang sebelum paten expire disebut obat berpaten, dan sesudah expire disebut obat tidak berpaten.

    Tapi….untuk istilah ”obat bermerek” saya tidak setuju. Karena semua obat yang dijual di pasaran pasti bermerek. Masalahnya adalah APAKAH MEREK TERSEBUT TERDAFTAR ATAU TIDAK, itu yang jadi pertanyaan. Anda tidak usah bingung, jangankan merek generik, obat bermerek NORVASK pun tidak terdapat di dalam direktori MEREK dgip.go.id. Merek ini hanya terdapat di dalam US Patent dengan nama Norvasc seperti yang saya tulis pada tulisan saya. Saya pun tidak tahu apakah paten atau merek NORVASK sudah diregistrasi di Indonesia? Mungkin hanya pihak Pfizer (dan tentu Depkumdang) yang tahu.

    Kalau Anda bekerja di bidang farmasi maka Anda pun mestinya tahu bahwa rasionalitas ekonomi menjadi pertimbangan untuk mematenkan produk/proses atau mendaftarkan merek. Invensi yang diberi paten atau didaftarkan mereknya dapat secara ekonomi menguntungkan apabila skala pasar bagi produk yang bersangkutan sesuai dengan investasi.

    Dalam kontek Norvasc maka patent-nya berhubungan dengan kandungannya yaitu Amlodipine besylate. Amlodipine merupakan senyawa induk yang masih memungkinkan dikembangkan untuk temuan baru. Derivat lain Amlodipine yang kini beredar di pasaran adalah AMLODIPINE MALEAT (Merek dagang: AMDIXAL) diproduksi oleh SANDOZ.

  17. Priyadi on

    #70:


    Sekali lagi…..kalimat ini yang saya tidak setuju. Dari Harian on line yang Anda kutip pun (Kompas) tidak menyebutkan NAMA OBAT (kecuali nama sebuah produk cairan infus) mempunyai paten atau tidak. Bagaimana mungkin Anda bisa menyimpulkan obat yang termasuk dalam berita itu sudah expire atau tidak, sehingga menyebutnya dengan ”obat bermerek”? Saya minta maaf kalau saya salah menangkap maksud kalimat itu, tapi tolong Anda jelaskan sekali lagi apa yang Anda maksud dengan kalimat yang Anda tuliskan?

    implisit. media massa menyebut kurang lebih ‘obat generik langka sehingga rumah sakit harus menggunakan obat paten’. di sini diketahui kalau obat2an yang dimaksud sudah ada versi generiknya, artinya perusahaan farmasi apapun bisa memproduksinya, dan dengan demikian tidak dipatenkan atau patennya sudah kadaluwarsa.

    di media lain (tidak saya kutip) dibilang kalau obat2an yang dimaksud di antaranya adalah cotrimoxazole, metronidazole, dan amoxicillin.


    Karena semua obat yang dijual di pasaran pasti bermerek. Masalahnya adalah APAKAH MEREK TERSEBUT TERDAFTAR ATAU TIDAK, itu yang jadi pertanyaan.

    kalau pakai nama generik (amlodipine), maka seharusnya dia tidak bisa melarang pihak lain untuk menggunakan nama yang sama. nama generik bukan dan tidak bisa menjadi merk dagang.

    UU 15/2001 memberikan perlindungan terbatas untuk merk yang tidak terdaftar, dengan syarat merk itu harus terkenal (ps 6b). jadi kalau norvask tidak didaftarkan, dia masih bisa mengklaim kepemilikan. tapi saya ragu perusahaan sebesar pfizer lupa mendaftarkan merknya. lebih mungkin database dgip yang gak update.


    Kalau Anda bekerja di bidang farmasi maka Anda pun mestinya tahu bahwa rasionalitas ekonomi menjadi pertimbangan untuk mematenkan produk/proses atau mendaftarkan merek

    saya sama sekali bukan orang farmasi, tapi isu ini bukan spesifik untuk bidang farmasi saja. kecuali kalau memang ada aturan spesifik untuk bidang farmasi yang saya gak tahu.

  18. pyuriko on

    Ramai jg yaa pembahasan ini…

  19. triadi on

    wah wong pinter-pinter pada debat, yang bodo bodo ini padha mlongo hehehe…

    ikut aja deh gimana nanti solusinya…

  20. joni on

    wah..wah seru diskusinya.. sampe panjang2 komennya dan bersahut-sahutan!

    berat emang tulisannya, aku cuma mlongo aja neh mas. 🙂

  21. Anisa on

    seru ya kalo orang pinter lagi pada berdebat.
    Jadi sedih nih…kenapa dulu gak sekolah pinter2 gitu.
    Tulisannya berat pak dokter..hehehe..gak kuat angkat ..

  22. Kana Haya on

    cuma bisa bengong baca postingan yang berat ini sambil lirik komen saut2annya pa dokter vs om pri
    sumpah! ga ngerti dokkkkkkk!!! o_O

  23. mashuri on

    #Bakhriansyah
    Ikam nih kaya apa garang…..tulungin unda pang….di nagara Kangguru tu kaya apa kunsipnya? Sama kada dua di Indonesia…..parihal tupik nang dihualakan ni (kada jadi baraaaassss!!!!).

    #Anakfarmasiblomlulus
    Rajin blajar ya…..moga cepat lulus…salam kenal.

    #Cempluk
    Amiiinnnn 40X

    #Miftah Muhaemen
    Buliha haja….waja sampai ka putting jua kalu pian ini?

    #Nieke
    Wah….ada Ekonom di sini rupanya…..Bisa curhat anggaran belanja dapur dunk…

    #Mel@
    Gimana PR matematik-nya udah selesai. Selesaikan dulu dunk…ntar kamu berdiri di depan kelas kalo gak ngerjain. lho…..

    #Hery
    Iya betul, Mas Hery…..

    #Cakmoki
    InsyaAllah….dr. Hatmoko. Gimana kabarnya kota Samarinda?

    #Nilla
    Dari sisi IT, wah kalo yang ini tanya mas Joni kali ya….*promosi lagi mas Joni*…..He…he…..

    #Milda
    Kali ini ”being a good a fighter” …He….he…

    #Iko
    Tapi gak seramai pasar malam khan?

    #Triadi
    Mas Triyadi ini…ORANG RENDAH HATI….MENINGKATKAN KUALITAS YANG EMANG UDAH KUALITAS YAHUD……Warung Kopi-nya udah “paten” banget….

    #Joni
    Udah dipromokan sebagai ahli IT mas. Berapa komisi saya neh?

    #Anisa
    Gak usah diangkat mba….jadi alas tidur aja, enak koq….

    #Kana Haya
    Kana pura-pura gak ngerti…..He…He….

  24. mashuri on

    #Priyadi

    Dalam konteks tulisan Anda, saya merasa perlu menyebutkan juga UU No 15 tentang Merek, karena Anda mengklarifikasi istilah Paten dengan menggunakan perspektif hukum (UU tentang Paten). Seperti halnya Paten, maka Merek pun mempunyai ”jangka waktu perlindungan hukum”. Bahkan, waktunya bisa lebih pendek dari masa perlindungan Paten. Berdasarkan UU No 15 merek terdaftar mendapat perlindungan hukum untuk jangka waktu 10 tahun dan berlaku surut sejak tanggal penerimaan permohonan merek bersangkutan. Nah, kalau Anda menyebut suatu obat yang off patent sebagai obat bermerek, tentu tidak tertutup kemungkinan merek obat tersebut juga off certificate, bukan? Apakah masih bisa disebut sebagai ”obat bermerek”?

    Pemahaman saya tentang obat bermerek beranjak pada obat ethical (resep) dimana obat bisa disebut sebagai branded original drug, branded generic drug, dan untuk kondisi Indonesia ada istilah obat generik bermerek atau berlogo (OGB). Oleh sebab itu, saya menyimpulkan semua obat bermerek.

    Walaupun ini bukan titik temu yang membahagiakan, Anda telah berbicara banyak tentang hal yang berbeda. Semoga masih ada ruang bagi kita untuk bertemu.

    Terima kasih.

  25. Nieke,, on

    CASE CLOSSED! HEHEHE.. << tukang rusuh datang xD ampuuunnn ommm.. posting lagi duonkkkk x)

  26. Nieke,, on

    tuh khan salah tulis lagi englishnya.. sok2 english sih Nieke.. maaph xP

  27. BAKHRIAN SYAH on

    maaf mas ai… saurang kada pati paham jua ubat-ubatan mun dilihat matan kaca muha urang farmasi. aku urang farmako pang… jadi kada mangarti ubat balugu, ubat bamirik, ubat patin… aku tahunya iwak patin mas ai…. (heheheh mancari alasan ja pang aku ni…. hhehehhe)

  28. Yusuf Alam Romadhon on

    wah saya ga ngerti banget masalah hukum… tapi kalo ngeliyat dari katanya paten ada kaitanya dengan hak paten (hak seseorang ato lembaga atas penemuan baru yang tlah dilakukan) tetapi merek itu lebih berkaitan dengan identitas (dan ini pun harus dilindungi oleh undang-undang agar tidak dipalsukan)…
    kalo istilah itu dibuat strict maka akan seperti ini….
    bisa seperti kalau saat ini kita harus menyebut Norvask dengan “obat bermerek yang memiliki paten”, dan setelah bulan September 2007 nanti kita harus menyebutnya dengan “Obat bermerek yang pernah memiliki paten”
    ……… pada praktik sehari-hari lidah orang awam kebanyakan kita akan kesulitan dengan pengertian seperti itu..
    lha baiknya gimana?
    jadi mereknya Bill Clinton… patennya Hilliary Clinton he he he

  29. Tina on

    Kalau obat ditinjau dari segi design pijimana ya pak dokter? Kalo bisa designnya unik, lembut and elegant, jangan gede2 karena susah nelennya, hehe..

    *kiddinx bro*

  30. mashuri on

    #Nieke hebad
    Ya..udah ditutup, dan masing-masing masih berpegang pada pendiriannya…he…he..

    Untuk bhs Inggris, kamu bisa kontek teman saya di bawah ini

    #Bakhriansyah
    Ada yang ngaku gak bisa nulis Ingris, tuh…Bisa kau bimbing, Dia? he…he….ha…ha…

    #Yusuf AR
    Wah…setuju..setuju…sekali..

    #Tina
    he…he…Itu khan pesenan Saya kemaren…

  31. mina on

    panjang betul, tar aja dulu bacanya. komentar dulu: wuih, sekaliber Priyadi muncul di sini, euy!
    nah baru baca, tar komentar tambahannya ya.

  32. MaIDeN on

    Pengertian yang bias di kalangan praktisi (baca: bukan ahlinya) bisa saja terjadi saat menyimpulkan sendiri hasil risetnya di internet tanpa klarifikasi dulu ke ahlinya yang emang bergelut dibidang itu bertahun-tahun.

    Keep on writing dok.

  33. mashuri on

    #mina
    aku mah gak tau dia punya “kaliber” he..he..

    #maiden
    pengertian yang “bias” kadang dari media karena orientasi tertentu misal ekonomi. Pengertian “generik” dan “obat paten” seolah menyudutkan “obat generik” tsb. Ini yang saya gak setuju…Thanks…


Leave a reply to mashuri Cancel reply