FOGGING!, FOGGING!, FOGGING!


Penderita demam berdarah dengue (DBD) dalam bulan terakhir ini terus meningkat. Masyarakat dicekam kecemasan karena penyakit ini memakan korban jiwa yang tidak sedikit. Menurut Pusat Komunikasi Publik dari Sub Direktorat Arbovirosis Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (PP & PL) Depkes, hingga pekan ini sudah ada 10 provinsi melaporkan kasus DBD di wilayahnya. Kasus DBD terbanyak dilaporkan Propinsi DKI Jakarta dengan 968 kasus, 1 diantaranya meninggal. Setelah DKI Jakarta, daerah lain yang melaporkan kasus demam berdarah adalah propinsi-propinsi sebagai berikut: Lampung (421 kasus, 3 meninggal), Jawa Tengah (400 kasus, 1 meninggal), Jawa Barat (284 kasus, 3 meninggal), Kalimantan Timur (79 kasus, 1 meninggal), Banten (48 kasus, 4 meninggal), Bali (31 kasus), Jawa Timur (27 kasus 2 meninggal), NTB (19 kasus), dan Bangka Belitung (6 kasus). Jumlah ini belum termasuk korban di provinsi lainnya, seperti Kalimantan Selatan, Yogyakarta, Kalimantan Barat, NAD, dan Papua. Cuaca saat ini masih ideal untuk perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti pembawa virus DBD oleh karena itu jumlah tersebut akan dapat meningkat.

Serangan penyakit ini seharusnya sudah dapat diperkirakan, karena sangat terkait dengan perilaku nyamuk Aedes aegypti. Nyamuk ini akan mempunyai sarang lebih banyak pada musim penghujan. Nyamuk hanya bertelur di bak-bak mandi akan tetapi ketika hujan tiba, tempat bersarang nyamuk bisa berpindah ke tempat-tempat genangan air yang muncul akibat siraman hujan, wadah kosong, kaleng, atau bahkan cekungan sekecil apapun di pekarangan rumah, di sekolah, di perkantoran yang menampung air bersih. Sementara itu, menjelang peralihan cuaca suhu udara mulai meningkat. Pada suhu yang tinggi jentik (larva) menjadi lebih cepat dewasa dan aktivitas nyamuk betina untuk menghisap darah manusia juga meningkat. Oleh karena itu, serbuan penyakit ini saat musim hujan dan menjelang peralihan cuaca seperti sekarang ini hampir pasti selalu terjadi setiap tahunnya.

Kampanye oleh pemerintah untuk memutus rantai penularan sering datang terlambat dimana korban sudah berjatuhan. Masyarakat seharusnya didorong untuk memahami 3 M sebagai bagian dari rangkaian proses yang harus dilakukan bersama-sama secara menyeluruh dan rutin. Selain itu, sesuai dengan anjuran WHO untuk penanggulangan fokus (kasus) dapat dilakukan abatenisasi (menabur bubuk abate) dan fogging (penyemprotan dengan insektisida).

Pemerintah sendiri terkesan alergi dengan fogging. Padahal walaupun bukan hal utama akan tetapi fogging juga tidak terlarang. Bukankah fogging merupakan pilihan utama untuk mematikan nyamuk dewasa secara massal? Pada keadaan wabah atau KLB, fogging bahkan dianjurkan untuk dilakukan. WHO sendiri menganjurkan untuk dilakukan fogging yang dilakukan bersama-sama dengan kegiatan lain seperti abatenisasi dan penyuluhan kepada masyarakat tentang pemberantasan sarang nyamuk (PSN) seperti tindakan 3 M dan pencegahan lainnya seperti memelihara ikan pemakan jentik, menggunakan kelambu pada waktu tidur, memasang kasa, menggunakan repellent, dan memasang obat nyamuk.

Fogging memang tidak mampu membunuh jentik, tapi hendaknya ini tidak menjadi justifikasi pemerintah untuk tidak melakukan fogging. Fogging masal dapat menurunkan populasi nyamuk Aedes aegypti secara tajam dan cepat, meskipun penurunan tersebut tidak sampai nol. Apabila hal ini diikuti dengan gerakan pemberantasan sarang nyamuk tentu sangat efektif menurunkan populasi nyamuk dewasa dan akan diikuti dengan menurunnya penularan dan selanjutnya akan menurunkan jumlah kasus yang terjadi.

Fogging dapat dilakukan dengan cara thermal fogging untuk penanggulangan fokus (kasus) biasanya dengan menggunakan mesin khusus (swing fog). Ini yang sering dilakukan apabila ditemukan kasus. Sedangkan cold fogging dilakukan sebelum musim penularan tepat sebelum atau akan memasuki musim hujan. Ini dinamakan fogging sebelum musim penularan (FSMP). Pada FSMP ini dipergunakan insektisida murni dengan mesin Ultra Low Volume (ULV) yang diletakkan di atas mobil pick up. Kegiatan pengasapan jenis ini tidak gencar dilakukan, padahal pengasapan yang dilakukan sebelum musin penularan penyakit tersebut mampu mematikan nyamuk yang belum infektif maupun yang infektif. Sebab pada saat ini keadaan iklim tidak mendukung perkembangbiakannya dan yang lebih penting pada saat ini populasi nyamuk masih rendah.

Akhirnya, meminjam istilah Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Depkes RI, Nyoman Kandun (Kompas, 03/02/07) selain partisipasi masyarakat kuncinya memang harus ada pada upaya terpadu di kalangan pemerintah yaitu mengarahakan program pada pembangunan yang berwawasan kesehatan dan lingkungan. Dengan kata lain, berjalan atau tidaknya program pemberantasan DBD sangat tergantung pada prioritas, komitmen, dan kegigihan pemerintah khususnya tokoh atau pemimpin lokal.

Image from here.

1 comment so far

  1. Dimas on

    Waduh, saya jadi ingat dulu pas kena DB 2 tahun lalu satu rumah kena 😦 seharusnya fogging lebih awal dulu.

    Seandainya aja ada teknologi reverse engineering sehingga virus aedes-nya bisa direkayasa jadi imun bagi tubuh. Atau pake gelombang akustik ato elektromagnetik biar bunuh nyamuk minimal mengusirnya. Hmmm … riset yang menarik.

    –Dimas


Leave a comment